Senin, 30 Oktober 2017

Klasik

Tanpa sadar kita semua menulis. Sejak kecil kita menulis. Merangkai huruf a, b, j, h hingga z menjadi kata-kata dasar. Gabungan dari vokal dan konsonan itu kemudian menjadi bahasa yang dapat dimengerti. Alat komunikasi persatuan bangsa. Meskipun diawal, -ny dan -ng terasa sulit. Namun lihat, bagaimana dengan sekarang? Kebiasaan itu telah membentuk kita. Yang sulit itu jika dibiasakan menjadi mudah, setidaknya bisa.

Kita telah mengetahui bersama jikalau menulis mampu memadatkan ide. Sarana yang baik untuk melatih kecerdasan emosional kita. Selain itu, dengan menulis kita bisa memiliki agenda harian, dapat mengevaluasi besar pengeluaran hingga mencatat resep masakan. Terlebih dari itu, rajin menulis dikelas membuat gerak kinestetik dan visual kita lebih terasah. Selagi pikiran ini lupa terhadap suatu pembahasan, tulisan-tulisan itulah yang mampu menolong kita untuk mengingat kembali apa yang telah kita catat.

Begitu banyak manfaat tulisan hingga akhirnya menulis menjadi budaya masyarakat terutama yang sudah mengecap manisnya dunia pendidikan. Namun ada saja yang membuat menulis menjadi rumit dan susah, yaitu diri sendiri. Diri ini seringkali membatasi. Seakan paling mengerti tulisan sendiri dan menghakimi sendiri karya tersebut. Kita seringkali tidak mempersilakan orang lain menilai, atau setidaknya memberikan kita saran. Dengan tujuan mulia: agar karya tersebut menjadi baik, bukan menjadi alasan untuk lari dari kegiatan menulis.

Problema dalam kepenulisan adalah sebuah keniscayaan. Seribu motivasi pun terkadang tergerus hingga halus bersama debu yang tertiup angin karena rasa malas dan enggan. Mereka menumpuk di dalam pikiran, hati dan perangai kita sehingga tangan ini sulit menulis. Berat rasanya. Meskipun terkadang muncul penyesalan karena telah membiarkan imaji menguap sempurna. Kita tidak pernah tau, apakah yang kelak akan membantu mengangkat kita ke surga. Mungkin itu tulisan kita. Ya. Betul sekali. Mungkin itu tulisan kita. Tulisan yang tanpa sengaja memberi pencerahan kepada orang lain. Bermanfaat. Kendati ragu dalam prosesnya sekalipun.

Deret huruf yang pada mulanya hanya menuangkan ide dan gagasan, ternyata sebuah penemuan fenomenal. Ide dan gagasan yang brilian itu kemudian mengubah cara pandang, tingkah laku hingga cara bersosialisasi pembacanya. Tak ayal si penulis mendapatkan kebaikan tak hanya di dunia tapi juga di alam baka. Impian banyak orang yang mempercayai kehidupan akhir setelah mati.

Siapa yang mau?

Alangkah bahagia orang yang mampu berbahagia karena tulisannya bermanfaat bagi orang banyak. Lagi-lagi bukan karena orang lain kita mampu menulis. Kepercayaan, penghormatan, dan pujian dari orang lain hanya menjadi bonus akan tugas yang kita selesaikan. Menulis sampai ide kita habis.

Yang paling terutama adalah kesungguhan dari dasar diri sendiri. Bahwa aku menulis untuk diriku. Kelak diriku perlu dibantu. Ketika terperosok dan tanganku tak tergapai tali, ada secercah harapan yang muasalnya dari tulisanku. Ia berbentuk uliran kain putih yang bersih dan cantik, membawaku ke tempat yang Maha Indah. Disana kita melihat pemandangan yang asri, sejuk. Di bawah pohon besar dan rimbun, aku kembali menulis. Menulis sajak-sajak indah, berprosa, berpuisi atau sekedar membuat cerita pendek. Menulis sampai ide kita habis.

Lelahlah menulis jika ide kita telah habis. Maka menulislah selagi ada kesempatan. Hapuslah alasan yang dibuat diri sendiri, agar hidup ini lebih berarti.

Jangan ragu menulis. Sekalipun ujian bolak-balik mendera. Tak perlu mencari alasan untuk berhenti, karena ia akan selalu datang meski tak diundang. Maka buang jauh segala kerangkeng yang membatasi. Bersiaplah terbang menuju angkasa.

Perjuangan dengan pena akan mengukir yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Tidak ada komentar: