Minggu, 30 April 2017

Metamorfosa Akhlak #2 - dr. Aisyah Dahlan

Mengenal dan Mengelola Emosi

dr. Aisyah Dahlan



Apa itu emosi?
Apa saja itu emosi? marah, kesal sedih

Emosi itu dapat dirasa. Asal muasal katanya dari movere artinya menggerakan atau bergerak.
ditambah awalan e artinya menjadi bergerak menjauh.

Emosi berpusat di sistem limbik ada otak.

Ada 9 level emosi yang secara fitrah dimiliki oleh manusia :
  • damai/peace
  • menerima/acceptance
  • semangat/ courage
  • sombong/pride
  • marah/anger
  • buru-buru/lust
  • takut/ fear
  • sedih/sad
  • apatis/ apathy
Dalam Islam, emosi apatis, sedih dan takut tergolong Nafs Lawamah. Emosi buru-buru, marah dan sombong tergolong Nafs Ammarah. Emosi Semangat, menerima dan damai tergolong Nafs Mutmainah. Sebaiknya kita terus menjaga kondisi hati, perasaan dan emosi kita pada Nafs Mutmainah ini.

Apati merupakan level terendah, orang yang mengalami emosi ini merasa tidak berguna dikehidupan ini. Kondisi yang sangat rendah merasa bersedih tanpa energi.

Hal yang lebih rendah dari apati adalah depresi, kondisi depresi ini adalah emosi yang tidak lazim dimiliki. Maka jika kita mulai merasa sepi, bangkitkan semangat dengan cara menarik nafas dalam-dalam dan membaca istighfar agar energinya terus meningkat dan tidak berujung depresi.

Emosi tertinggi setelah damai adakah manik. Kondisi emosi yang terlalu bergembira.

Ketika seseorang terlalu mudah depresi dan dalam kondisi sesaat ia bisa manik, itulah yang disebut bipolar.

Untuk menaikkan emosi ke level semangat dari level apati itu butuh 5 langkah. Maka dari itu, hal tersebut cenderung sulit dilakukan dan membutuhkan waktu.

Fase emosi yang mencapai semangatlah yang baru dapat diberi masukan/saran. Situasi emosi di bawah semangat belum dapat menerima saat diberi masukan.

Dalam mengubah akhlak perlu dikenali terlebih dahulu emosinya, baru kemudian dapat dikelola. Emosi secara elektromagnettik akan dibroadcast ke alam semesta dan ditarik oleh orang-orang yang seperti apa yang kamu mau. Seperti perasaan senasib.

Dengan emosi kita sendiri, kita yang menarik gelombang tersebut atau ditarik oleh orang lain dengan gelombang yang sama.

Hal ini juga dapat dijelaskan secara ilmiah. Badan punya zat besi yang sifat elektromagnetiknya sangat kuat dan dapat ditangkap oleh semesta. Jika kita semangat, tentu hal yang sifatnya semangat pula yang akan menghampiri.

Tahu kan firman Allah: “Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku”. 

fa wa robbis-samaaa'i wal-ardhi innahuu lahaqqum misla maaa annakum tanthiquun
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan (Addzariyat: 23)

---

Yang pasti saya terkagum-kagum sama dr. Aisyah Dahlan itu. Beliau adalah pembicara yang baik (setiap memaparkan sebuah ilustrasi, ia seperti seorang Stand Up Comedian yang melempar punch dan pecah!), dan seluruh peserta yang hadir dapat menerimanya dengan baik. Beliau merupakan seorang dokter yang aktif merehabilitasi, membangun, dan menyembuhkan para mantan pecandu narkoba. Dalam seminarnya, beliau membawa anak asuhnya dan mendramakan 9 level emosi tersebut sehingga kami yang mendengarkan ikut membayangkan suasana-suasana tersebut.

Coba kita bayangkan, ketika dalam posisi sedih, apakah yang kita lakukan?
Mungkin jawabannya dapat beragam. Seperti diam, menangis, dan meratap. Jika kita tidak berusaha menaikan emosi kembali ke posisi yang lebih bergairah, bisa-bisa kita jauh terperosok ke level emosi apati atau bahkan depresi. Jangan sampai ya kawan-kawan, takutnya nanti setan lewat dan pikiran kita sedang dalam kondisi dangkal malah terjadi hal yang tidak diinginkan.

Kalau kita merasa marah, apa yang kita lakukan?
Mencaci maki, berkata kasar?
atau diam dan meninggalkannya?

dr. Aisyah menggambarkan naiknya level emosi dengan mengilustrasikan seorang ibu yang kehilangan suaminya.

si Ibu : (S)
teman Ibu : (T)
bapak : (suami S)

Saat S pada kondisi apati, ia merasa jadi orang yang paling sedih, mengalami keterpurukan dan sudah tidak mampu menangis. Ia hanya memerlukan T yang mengusap punggungnya dan tidak mengoceh banyak banyak, karena T tidak pernah tau rasanya jadi S.

T : Ibu yang sabar ya, Allah sudah menyiapkan kehidupan yang baik untuk Bapak.
S : ..... menangis (emosinya sudah naik ke level sedih, ada energi)

T : ..... mencoba memeluk dan memberikan rasa empati yang tinggi
T : Istighfar buu, tarik napas dalam dalam.
S : ..... menangis lebih keras. kemudian mulai berbicara
S : Anak-anak masih kecil bu. Bagaimana jika saya tidak sanggup menghidupnya sendiri (emosinya sudah naik ke fase takut)
T : .....setia mendengarkan
T : Minta ke Allah bu, Dia-lah yang paling lapang rezekinya.
S : Iya ya buu, iya saya akan berdoa terus ke Allah biar anak cepet gede (buru-buru) 
...masih senggukan...

T : Iya bu.. Istighfar terus bu biar tenang, astaghfirullahaladzim.
S : Astahfirullahaladzim. Tapi Allah emang ga mau membiarkan suami saya hidup lebih lama dengan saya (marah)
T : Ibu astaghfirullahaladzim, ini sudah takdir kan bu. Untuk anak-anak kita bisa memanfaatkan yang ada dulu.
S : oh iya ya, astaghfirullah. iya mungkin saya mau melanjutkan bisnis suami saya ya, gini gini kan saya ini sarjana ekonomi (sombong)
....meskipun suaranya masih lemah tapi mulai percaya diri...

T : ......mendengarkan terus
S : saya mau belajar lagi ah, buka buku yang waktu itu suami kasih buat saya kalau ada sesuatu (semangat)

T : Nah, gitu dong Bu. Alhamdulillah ibu masih ada Raihan, Jihan yang sholeh dan sholehah.
S : Iya ya, kalau saya sedih terus bagaimana mereka melihat saya. Alhamdulillah ya bu (menerima)

T : Semua ini juga kan ada yang ngatur bu
S : Iya ya bu, selama ada Allah, ada keluarga, ada teman fii sabilillah, pasti hidup ini juga bisa sangat indah. Semoga Bapak juga mendapatkan tempat yang paling baik, Bapak kan baik (damai)
...sudah tersenyum....

Kurang lebih seperti itu percakapan dalam menaikan emosi, perlu waktu dan bertahap. Dalam meningkatkan emosi kita bisa sendirian atau dibantu orang lain.

Disaat kita sedih, biasanya kita mengalihkan pemikiran itu,mengingat motivasi hidup, membayangkan orang tua dan masa depan. Meskipun setelah sedih masih ada level emosi takut. Yakni kondisi masih merasa cemas jikalau terjadi hal-hal buruk yang akan datang pada kita. Namun rasa takut merupakan emosi yang wajar sebelum ke level-level selanjutnya.


Rasa sedih, takut, dan marah seringkali menutup pelita yang tersebar di muka bumi. perasaan itu melingkupi kita terus menerus hingga sesak dan akhirnya malas tersenyum, mudah berkata kasar, penuh kebencian, sulit menerima masukan dan menjadi pribadi yang tidak ikhlas.

Rasa semangat, hati yang menerima dan kedamaian adalah perasaan yang lapang dan menyenangkan. penuh dengan rasa aman, kasih sayang, kebahagiaan, dan kepedulian. kita seperti menari-nari didalamnya. penuh dengan cahaya hikmah dan kita enggan pergi, karena ada syukur.

Semoga kita bisa menjaga nafs mutmainah ini ya :" Aamiiin!
(*curhat *anaknyagampangmarah *mintadidoain)

Kemudian dr. Aisyah juga menjelaskan bahwa emosi/kondisi yang kita miliki bisa terpancar ke semesta. Contohnya jika kita mau belajar, Allah kan mendekatkan kita dengan orang-orang yang mau belajar juga. Seringkali kita merasa kebetulan jika menemukan pertemuan semacam itu, padahal hal tersebut sudah diatur dengan sempurna oleh Allah.

Emosi juga diiringi dengan keimanan, bahwa benar tangan dan tubuh ini bisa bicara di hari akhir tentang apa yang dilakukannya. Sekarang saja dokter sudah dapat mendiagnosa penyakit seseorang dengan stetoskop, data laboratorium dll. Bukan dengan ramalan, tetapi dengan ilmu. Tubuh kita sendiri sudah dapat memberikan tanda-tanda/gejala jika terjadi sesuatu. Dengan ilmu manusia aja kita sering terheran-heran, bagaimana dengan ilmu Allah yang bisa membuat tingkah laku dan aib kita terbongkar jelas dihari akhir. 

Jika tubuh kita butuh makan, kita pasti sudah merasakan lapar. Sinyal itu bukankah sebuah bentuk komunikasi?

Semoga kita mampu mengendalikan dan mengelola emosi dengan baik seperti yang ditunjukkan para nabi, para amirul mukminin seperi Umar bin Abdul Aziz yang luar biasa.

Jika emosi yang kita pancarkan baik, semesta pun menyambutnya dengan cara yang baik dan memberikan timbal balik yang baik pula.

---

Wallahu A'lam Bishawab.

Tidak ada komentar: