Mahasiswa. Identitas yang begitu
angkuh terasa. Kata Maha didepannya bukan untuk disalahgunakan. Unjuk gigi
tanpa tahu tujuan dan landasan, mahasiswa. Mahasiswa muda mudah terbakar emosi.
Dengan status barunya, mahasiswa dengan lugas mengatakan Ya pada kebenaran dan
mengatakan Tidak pada keburukan. Tapi apa Anda pernah berpikir bahwa mahasiswa
itu mengemban amanah lebih dari itu?
Kehidupan
mahasiswa diperantuan memaksa para mahasiswa muda mencari tempat berlindung
dari ancaman dan bersembunyi dibalik ketakutan. Mahasiswa muda ini terkadang
terperosok jauh dalam kehidupan kampus yang hedonis dan konsumtif. Belum lagi
pandangan hegemoni dan ateis disana-sini. Mahasiswa muda ini butuh jalan dan
cara untuk tahu posisi dan peran untuk dirinya.
Dalam
kaderisasi kampus, semua digeneralisasi. Setiap mahasiswa dianggap sama dan
dianggap memiliki posisi dan peran yang sama dalam kemajuan Indonesia. Hal
tersebut tidak sepenuhnya salah, tidak juga sepenuhnya benar. Pendidikan yang
terlalu digeneralisasi menghasilkan angkatan yang sama, umum, dan seragam.
Padahal, Indonesia butuh yang lebih dari itu. Indonesia butuh lebih dari pada
mahasiswa yang memiliki keseragaman berpikir.
Kesempatan
mendidik mahasiswa muda sering terpotong SKS dan waktu kuliah. Jangan-jangan
waktu kuliah pun telah melibatkan tangan Asing. Bagaimana tidak, kami dibuat
tidak memiliki waktu cukup senggang untuk melakukan kajian mendalam dan
berakhir aksi dipinggir jalan raya. Waktu kuliah kami dibatasi hanya 6 tahun,
yang semula bisa sebebasnya kapan lulus.
Status mahasiswa dimaknai
berbeda oleh setiap orang. Sistem kaderisasi pada mahasiswa ini perlu
menyesuaikan dengan makna mahasiswa yang diembannya. Mahasiswa memiliki peran
strategis dalam membina hubungan antar kampus. Membangun solidaritas dan
membawa ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang lebih berdaya.
Jurnal
menumpuk di pojokan perpustakaan tak terbaca. Ribuan buku usang tertata rapi
pada lemari mahal hasil pembelian uang rakyat. Mahasiswa, meskipun ada kata
maha didepannya, tak boleh tahu berapa pengeluaran renovasi perpustakaan yang
mencapai ratusan juta rupiah. Sementara mahasiswa ini ingin mengetauhi dari
mana dan bagaimana penggunaan uang rakyat, mahasiswa lain sedang sibuk
mengajari bocah ingusan yang 2 bulan lagi akan menghadapi ujian nasional
setingkat Sekolah Menengah Atas.
Setiap
mahasiswa dan umumnya semua makhluk dibumi ini hanya memiliki 24 jam setiap
harinya. Bila dalam 1 hari, 7 jam Ia tidur. Dalam 20 tahun sudahlah Ia terlelap
dalam 7 tahun. Itulah yang membedakan manusia gemilang dan manusia tidak
produktif. Bagaimana ia memanfaatkan waktu hidupnya yang berharga pada hal-hal
yang bermanfaat.
Sayangnya,
sulit membentuk mahasiswa yang dapat menghargai waktunya untuk menjadi manusia
paling bermanfaat. Karena tidak ada apresiasi untuk ini dan tidak ada sanksi
sosial bagi yang tidak melakukannya. Apresiasi hanya sering dilakukan pada
acara hiburan semata.
Pembentukan
mahasiswa-mahasiswa yang kedepannya akan bermanfaat perlu mendapatkan
pendidikan berjenjang dan visioner. Kita hidup untuk hari ini dan kedepannya.
Mahasiswa biasa, kurang ambisisus terhadap masa depannya. Ada mahasiswa yang
senang makan makanan mewah dan berkongkow bersama sahabat berbikininya di
pinggir kolam renang, bercanda, tertawa sambil sesekali menyeruput lemon tea.
Hedonisme. Itulah realita yang ada saat ini. Dan jangan sekali kali kita
generalisasi bahwa semuanya memiliki harta yang berlimpah. Karena kita tidak
tahu.
Kampus
adalah miniatur negeri, lewat kampus para pendidik bisa tahu seperti apa
Indonesia 15-20 tahun kedepan. Karena lewat tempat inilah ia akan berkembang
dan menjadi motor pembangun bangsa, bukan perusak bangsa. Jika sudah kita liat
bahwa kampus sedang sakit kronik, kita tidak boleh membiarkannya mati. Oleh
orang-orang hebat, kampus dihidupkan dan diberi pelita ilmu yang sangat
fundamental, yaitu kebermanfaatan.
Solusi
dari permasalahan yang telah diungkap secara tidak runut oleh penulis adalah
kaderisasi berjenjang dan maju. Dalam tahapan kaderisasi masuk kampus, ia akan
bertemu dengan pendidik kemudian bertemu lagi dengan pendidik saat masuk ke
himpunan mahasiswa jurusan. Kemudian ia memilih kearah mana jalan ia bisa
pijakkan. Kaderisasi yang menjadikan bibit baru atau mahasiswa muda ini sebagai
objek adalah potensi yang perlu dimaksimalkan. Agar angkatan yang baru ini
dapat lahir dan tumbuh sebagai manusia yang mengerti kebermanfaatan.
Dibalik
kesuksesan mahasiswa yang berhasil membentuk Indonesia Berdaya, terdapat
angkatan mahasiswa pendidik yang concern dan mengerti bahwa pendidikan
kehidupan perlu diasah dikampus. Dengan gerakan massive dan satu visi, siapa
yang menolak bahwa Indonesia berdaya akan segera tercipta?
Berdaya dengan
kekuasaannya, berdaya dnegan ilmunya, berdaya dengan emosinya, berdaya dengan
kekayanaan alam dan lingkungannya.
Siapa
yang tidak senang ketika diapresiasi karyanya? Indonesia ini begitu banyak
memiliki peneliti, akademisi, seniman dan macam profesi lain. Namun, tidak ada
apresiasi mendalam bagi mereka dan menjadikannya semangat bagi orang lain untuk
terus maju. Sikap sering mengapresisasi pun salah satu bentuk pendidikan
kaderisasi bahwa yang memberi manfaat perlu diapresiasi.
Dalam
membentuk Indonesia Berdaya, perlu lahir pemimpin yang mampu membuatnya.
Pemimpin lahir melalui proses yang dalam dan mengakar dalam kepribadiaanya.
Kelahiran pemimpin pemimpin baru sangat dinanti, namun tak banyak yang serius
untuk menanam benih si pembawa berkah ini. Untuk itu ditempat menimba ilmu
sudah selayaknya pengembangan karakter pemimpimpin yang berintegritas tinggi
dengan semangat kebermanfaatan perlu dilahir kan. Dan, mari kita apresiasi pemimpin
angkatan mahasiswa pendidik yang mampu membuat sistem kaderisasi yang sempurna
demi perbaikan Indonesia menyeluruh demi menggapai Indonesia Berdaya.