Kamis, 24 September 2015

Curahan Hati Calon Pengantin

Seperti pagi biasanya, aku membuka jendela pagi yang basah. Hujan yang sendu mewarnai malamku yang dingin. Rutinitasku setiap hari adalah belajar. Belajar untuk menjadi lebih baik melalui buku, teman, cerita, ataupun kisah. Aku selalu bersemangat menjalani hari demi hari untuk masa depan yang akan membuatku riang.

Tahun demi tahun kulewati, hingga akhirnya aku beranjak dewasa. Ketika masa remajaku telah berlalu aku perlu lebih mawas diri, terlalu banyak hal yang aku pikirkan. Meski terkadang hanya hal kecil yang bolak-balik menyusup ke pikiranku. Kini aku tak lagi sepolos anak dua atau tiga tahun. Seringkali aku pun tertawa dalam hati. Umur dua atau tiga tahun itu sudah lama sekali aku lewati, aku tinggalkan. Satu hal yang aku ingat pada masa emas pertumbuhanku adalah ayah dan ibuku yang mencintai dan menyayangiku sepenuh hati. Hingga akhirnya, aku bisa sebesar ini.

Ada satu hal yang tak boleh kulupa sepanjang hidupku berlanjut. Aku harus bisa membanggakan mereka. Langkah kecilku, kubaktikan untuk orang tua.

Sore ini tidak seperti biasanya. Ibuku memelukku erat sambil sedikit menyimpan tangis dimatanya yang sayu. Seorang lelaki telah datang pada ayah dan ibuku, untuk menjadikanku kekasih dunia dan akhiratnya. Bayangan-bayangan ragu kemudian datang padaku. Awalnya aku kaget. Awalnya aku masih tidak percaya. Namun aku tahu ini adalah jalan dari-Nya. Aku yakin ini memang jalan dari Sang Kuasa.

Tak sedikit pertanyaan bermunculan di otakku. Apakah? Benarkah?. Aku teringat penggalan surat an-Nur ayat 26, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”, kemudian aku kembali yakin.

Pemilik Hati ini dengan mudahnya memberikan cinta diantara kami. Apalagi kulihat begitu kerasnya ia berusaha membuatku senang. Ragu, rindu, dan sendu mengiringi hari-hariku menjelang hari bahagia. B.J Habibie pernah berkata, “tak perlu seseorang yang sempurna cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu berarti lebih dari siapapun”. Dan aku menemukan hal itu dari dirinya.

Kulihat ia begitu salih. Padanan orang shalih adalah bidadari ketika di surga kelak. Aku tak ingin berdiam diri. Aku harus menjadi wanita shalihah, karena sainganku adalah bidadari surga. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. Bahwa Nabi Saw pernah bersabda, “Seandainya seorang bidadari dari surga menampakkan diri kepada penghuni bumi, niscaya cahaya tubuhnya dan bau harumnya akan memenuhi ruang antara langit dan bumi, serta kerudung rambutnya lebih indah dan lebih bernilai daripada dunia dan seisinya,” (HR. Bukhari no.2796). Membacanya saja membuatku ragu. Namun selalu saja ada hal yang membuatku yakin, bahwa wanita salihah dunia akan jauh lebih cantik di surga nanti dibandingkan bidadari.

Seperti perkataan Aisyah ra “Perempuan-perempuan salihah di dunia akan berkata kepada bidadari surga, ‘Kami melakukan shalat, sedangkan kalian tidak melakukan shalat. Kami berpuasa, sedangkan kalian tidak melakukannya. Kami bersedekah, sedangkan kalian tidak. Kami, perempuan salihah di dunia, mengalahkan bidadari surga”.

Hingga ketika waktunya tiba, aku akan membuktikan teman hidupku bahwa aku bisa menjadi perempuan yang membawanya pada kebaikan juga kebahagiaan. “Maukah aku beritahu harta yang paling baik dimiliki seseorang? Yaitu wanita yang salihah, kalau dipandang menumbuhkan kebahagiaan, kalau kamu suruh dia patuh, kalau ditinggal pergi dia dapat menjaga diri.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Abbas).

Kini umurku memasuki dua puluh empat. Tidak terasa selama itu aku bergantung kepada kedua orang tuaku. Bercampurlah sudah rasa gelisah dan gembira. Gelisah karena aku takut waktuku bersama ayah dan ibu menjadi berkurang. Gembira bahwa setengah agamaku akan segera digenapkan. Tidak lama lagi ia akan menjadi bagian yang halal dalam hidupku. Kelak ia akan menjadi sandaran dalam hidupku. Sandaran kala ingin menepi. Saat sendiri ataupun sepi. Ia yang tulus akan mengasihi dan mencintaiku selain orang tuaku kini sedang bersiap menikahiku. Dan aku sedang meluruskan niat, bahwasannya aku sedang mencari ridha Allah dalam bentuk pernikahan.

Malam ini kulihat bintang berkilauan. Hari-hari berlalu begitu cepat. Hingga saatnya kututup jendela dan mulai bermimpi menggapai impian masa depan bersamanya.


***


Hai, Nur Azizah Fitria!
Kutuliskan sebuah cerita fiksi buatan sendiri untuk tehjij tersayang :). Jelek bagusnya mohon terima apa adanya yaa hihihi aku mah apa atuh bukan temen sd, smp, sma. bukan cck. cuman pernah kenal sebagai bagain dari kalaka waluya atau keyayangan :"


Jumat, 18 September 2015

Curug Layung #ATravelDiary

Perjalanan yang baru saya alami adalah pergi ke Curug Layung tanggal 6 September 2015.
Perjalanan ini dimulai ketika tanggal 5 September aku, pitew, desti, isra, astrid, nonon, kimir, devi dan beberapa orang lain berbincang untuk pergi ke suatu tempat hari Ahad kemarin, dan wajib: outdoor.

Bandung dan sekitarnya memang selalu menyimpan sejumlah kawasan sejuk nan indah. Entah sudah terbangun sebagai tempat wisata, maupun belum, kawasan tersebut pastilah berharga setidaknya bagi masyarakat disekitarnya. Sebagai anak bandung yang sedang menganggur, kami berkeinginan untuk mendatangi salah satu tempat wisata yang dapat kami kunjungi tanpa menguras waktu dan uang. Rekomendasi wisata dari teman-teman lain sangat membantu, yakni tempat wisata yang mudah diakses dan menyuguhkan keindahan alam. Beberapa tempat wisata seperti stone garden, curug cimahi masuk ke dalam list. Akhirnya pilihan jatuh kepada Curug Layung karena diantara kami belum ada yang pernah kesana dan penasaran dengan kawasan tersebut.

Perjalanan dimulai pukul 11 siang. Terlalu siang memang untuk perjalanan wisata seperti ini. Semalaman kami masih berdiskusi besok mau kemana (karena masih bimbang curug cimahi atau curug layung), pukul berapa berkumpul dan rute mana yang akan dilalui. Karena kami bukan rider maupun driver, angkot menjadi satu-satunya pilihan yang dapat kami gunakan. Pukul 11 siang saya, desti dan isra berkumpul di terminal ledeng. Selanjutnya kami menaiki angkot putih rute Ledeng-Parongpong. Untuk naik angkot ini, kami perlu jalan dulu dari terminal ledeng ke jalan sersan bajuri hanya sekitar 5 menit saja. Disanalah angkot tersebut menunggu penumpang (ngetem)

Angkot Ledeng-Parongpong itu hanya akan berjalan jika angkot penuh sepenuh-penuhnya. Jadi ya waktu tunggu bisa sampai setengah jam, dengan kondisi duduknya super sempit. Sekitar 20 menit kami harus menunggu hingga angkot berangkat. Pemandangan dari dalam angkot yang dapat dilihat antara lain adalah banyaknya tanaman sayur mayur, bunga, pembuat taman, dan tempat tempat pembibitan bunga. Jalan yang dilalui menanjak dan cukup berkelok. Pemandangan dan udara segar sudah dapat dirasakan di dalam perjalanan ini. Rute ini melintasi kawasan sejuk cihideung. Sekitar 20 menit kami sampai di terminal parongpong. Ongkos per orang Rp.5.000,00. Dari terminal, kami menyebrang dan menunggu angkot kuning Cisarua-Cimahi. Mengunggu  angkot kuning ini cukup menyita kesabaran, karena jarang lewat. Perlu dilakukan diskusi hingga akhirnya kami bisa diantarkan pada curug yang dimaksud.

Kami tidak tahu dimana letak persis dari Curug Layung. Jalan keluar tidak ditemukan meski telah bertanya pada supir angkutan. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti di Curug Cimahi yang lebih dikenal dan sudah cukup dekat dengan Curug Layung. Ongkos yang dikeluarkan untuk angkot kuning tersebut per orang Rp.4000,00 sampai curug cimahi. Mungkin lain kali Rp.2.500,00 cukup. Sebagai informasi tambahan, angkot kuning tidak punya tempelan rute di depannya, sehingga penumpang wajib bertanya. Curug Cimahi sebagai patokan berhentinya angkot bukan merupakan keputusan yang salah. Karena 5 menit dari sana kita bisa menemukan gerbang komando, yakni jalan masuk menuju curug layung. Untuk memasuki gerbang komando dan menyusuri jalan besar yang menanjak, kita bisa menggunakan ojek maupun angkot. Kemarin kami memilih angkot sebagai jalan pilihan. Dengan Rp.30.000,00 kami berempat (saya, isra, desti, pitew) bisa naik ke atas hingga jalan sempit menuju Curug. Angkot yang kami gunakan angkot kuning yang ngetem di Terminal C Cisarua (dekat parkiran curug cimahi). Jarak tempuh sekitar 700-1.000 meter.

Setelah sampai di ujung jalan besar yang dapat dilalui mobil, kami berjalan kaki menyusuri jalan yang sempit menuju Curug. Lebar jalan sekitar setengah meter dan cukup untuk lalu lintas sepeda motor. Menanjak membuat kami lebih cepat lelah tetapi pemandangan disekitar dapat mengobati rasa lelah tersebut. Kita bisa melihat kebun selada dan kembang kol di samping kanan serta beberapa kandang sapi di sebelah kiri. Sekitar 300 meter jalan kecil tersebut kami lalui. Setelah jalan sempit, kemudian kami menemukan jalan besar yang berbatu. Jalan besar ini cukup untuk lalu lintas mobil. Lagi-lagi karena wilayahnya sejuk, rasa lelah tetap bisa terbayar. Jalan berbatu yang menanjak dan berkelok sekitar 500 meter ini harus dilewati dengan gembira, sehingga berfoto-foto merupakan salah satu cara agar kami bahagia. Pemandangan yang indah dapat terekam mulai dari tempat ini. 
Kebun Selada dan Kembang Kol

Akhirnya, sampai juga kami di Gerbang Curug Layung. Disana banyak terparkir motor. Untuk teman-teman rider, membawa motor dapat menjadi pilihan yang baik. Ada juga terparkir mobil tetapi jalur yang dilalui tidak kami ketahui, mungkin saja ia lewat rute Dusun Bambu.

Menemukan gerbang curug bukan berarti perjalanan telah selesai masih perlu waktu untuk mencapai curug ini. Tiket masuk Rp.5.000,00. Cukup murah jika dibandingkan Curug Cimahi, yakni sebesar Rp.15.000,00. Tempat tersebut memiliki jajaran pohon-pohon pakis yang tinggi. Jalan yang ditempuh adalah jalanan tanah berundak yang diatur pengelola agar menyerupai tangga menaik. Tanjakan tangga berkelok ini cukup panjang bisa lebih dari 500 m. Namun tidak perlu khawatir, disana banyak juga yang bisa kita temukan termasuk pemandangannya sangat indah dan instagramable. Usul saya, tidak perlu terburu-buru menuju curug, berjalan, nikmati dan terus dokumentasikan hehe. Setelah jalan menanjak kita bisa melihat bukit sekitar. Setelah jalan menanjak, ada turunan sekitar 200 m, jika sudah mencapai jalan menurun ini, curug sudah dekat. Ketika berjalan-jalan kami terus menghela napas dan bersyukur. Syukur karena kami dianugrahkan dunia yang indah yang bersih nan asri yang dibuat arsitek alam terbaik sepanjang masa.
Tangga Naik Menuju Curug

desti-rizka-pitew-isra



foto-foto instagramable




Akhirnya kami sampai juga di Curug Layung :". Setelah sampai lokasi, kami langsung membuka alas kaki dan berkecipak kecipuk dalam air curug yang dingin. Kami menduduki tempat duduk yang terbuat dari kayu yang melintang. Curug ini cukup luas. Dengan rerumputan hijau disekitarnya menambah nilai keindahan curug. Curug ini tidak begitu tinggi namun patut untuk dinikmati. Meskipun tertulis dilarang berenang, beberapa pengunjung berenang disekitar curug.
kecipak kecipuk





Menyegarkan adalah kata yang tepat setelah kami mendatangi tempat ini. Sekitar pukul 14.30 kami tiba dicurug. Melihat keindahan alam yang terselip disekitar kota besar adalah kenikmatan. Disana kita bisa memasak (kalau bawa peralatan masak), bermain air, berenang (jika mau), mengabadikan momen dengan berfoto-foto dan bersantai.

Setelah waktu menikmati telah selesai, kami pulang tetap dengan berjalan kaki. Meski sempat terpikir andaikan ada abang gojek.... Sinyal saja mampet ketika kami berada di curug. Rasa lelah begitu terasa ketika kami pulang, mungkin karena akumulasi dari perjalanan panjang ini. Mengapa saya usulkan berfoto-foto di awal perjalanan, karena kami merasakan saat pulang mood tidak sebaik berangkat, sehingga malas untuk sekedar berfoto.

Hari beranjak sore, kami (aku, isra, desti) berada di pinggir jalan gerbang komando untuk menunggu angkot kuning menuju terminal parongpong. Sementara itu pitew naik angkot menuju cimahi dari gerbang komando. Sekitar 10 menit, angkot kuningpun tiba dan membawa kami ke terminal parongpong. Ongkos per orang Rp. 3000,00. Selanjutnya kami kembali ke ledeng menggunakan angkot putih dengan ongkos per orang Rp. 5000,00.

Desti pulang kerumahnya disekitar sarijadi. Aku dan Isra melakukan shalat maghrib di masjid UPI yang sejuk. Kemudian dengan menggunakan motor kami pulang. 


Thanks to Isra yang bawa keripik pisang

numpang foto aja