Jumat, 22 November 2013

Nothing, just a present

Berhentilah menipu angin
Menipu perasaanmu tentang langit dan bintang bintang
Berhentilah menipu pohon yang sering melindungimu dikala sendiri
Berhentilah untuk menabur biji pada lahan tandus

***

Lihatlah seorang perempuan berseragam yang berjalan dengan centilnya. Lompat kesana kemari khas anak muda yang baru lulus SMA. Ia terbalut dengan busana muslimah. Rasanya ia belum punya banyak teman. Ia adalah anak madrasah yang baru saja kukenal. Senyumnya yang sok akrab membuatku geli berjabat dengannya.

Aku pergi sendiri, menantang angin ditengah hari. Saat itu hari tak sedang kelabu namun anak itu masih saja mendekatiku. Ia memang datang dari jauh, namun bukan berarti ia mudah mendapatkan perhatian dariku.

Aku tak sesungguhnya berminat untuk berteman dengannya, sendiri saja rasanya, aku sanggup. Namun jalan hidup selalu mempertemukan kami. Mulai dari rumah kosan yang dekat, kantin langganan yang sama. Dan yang paling aku tidak suka adalah ia sejurusan denganku di kampus. Bagaimana mungkin aku bisa menghindarinya. Meski wajahku sudah kupasang jutek level 15, tetap saja ia hilir mudik dan mengganggu pandanganku. Ah aku benci ruang.
Menjelang sore aku terpaku dibibir kelas dan menatap awan. Lagi lagi...Ah aku benci langit.

***

Berjalan kaki untuk pulang ke rumah kosan adalah hal yang aku sukai. Meski harus beratapkan langit, setidaknya aku suka pohon pohon lebat dipinggir kampusku ini. Sambil sedikit melirik-lirik siapa orang yang sedang berjalan disampingku. Mungkin saja jodoh itu sedang dekat saat ini.

Gemericik air hujan mulai berjatuhan. Secepat kilat ia membasahi setiap insan di bumi. Aku mengumpat-umpat langit. Semena-mena saja ia keluarkan hujan di sore ini. Aku kuyup. Sambil menantang langit dengan umpatan kasar, aku menjadi lengah dan keluar dari jalur pejalan kaki.

Lalu semua hilang..

***
Ada setitik putih yang hadir saat itu. Samar samar kemudian sangat jelas. Seseorang itu sedang duduk disampingku. Seorang cantik yang menemaniku setelah tertabrak mobil di sore itu. Ia memegang tanganku erat, bukan geli yang kurasa saat ini, tapi rasanya hangat. Lalu senyumnya tak lagi seperti sok akrab, tapi seperti hmm..sayang. Satu yang sulit aku hindari yaitu tatapannya yang peduli seperti tak pernah ada api yang membatasi.

Kini aku tahu alasan mengapa ia lahir dan hidup dengan kuat. Ia tak pernah membenci sesuatu. Ia tak pernah bersembunyi dari apapun. Ia ikhlas dan hidup dengan kasih sayang. Ia hanya diberi kekuatan oleh-Nya untuk menghadapi apapun.

***
Aku kini jauh menyadari
Bahwa angin itu adalah ujian bagi pohon apakah ia sanggup tegak atau tumbang
Bahwa langit dan bintang-bintang itu terjaga untuk meneduhkan dan menjagamu
Taburkanlah biji pada tanah yang subur
Agar buah yang kau petik kelak akan manis rasanya.
***

Terimakasih telah mengajariku cara termanis menghadapi cobaan
Terimakasih telah hadir untuk meneduhkan dan menjaga siapa saja orang disekitarmu
Teruntuk si Mapres Kehidupan yang penuh keajaiban, Irma Noviani
Bandung, 22 November 2013




Tidak ada komentar: