Jumat, 19 April 2013

Annisa


Ini kisah dulu yang tidak penah jelas awal dan akhirnya. Kejelasan itu hanya terpancar dari wajah anggun Annisa. Ia tak cantik namun manis, tak indah hanya menawan. Annisa masih muda, baru 2 hari ia masuk SMA. Tidak pernah ia menyangka bahwa ia menemukan secercah mimpi di SMA.

Pagi ini sama dengan pagi-pagi Annisa sebelumnya. Bergegas menaruh tas diatas kursi kayu sekolah dan setengah berlari menuju luar kelas untuk melihat seseorang yang sering membuatnya terpesona. Annisa hanya mempu melihatnya dari jauh. Sulit bagi Annisa menggapai sesosok bintang diujung lapangan. Annisa hanya mempu melihat dari teras kelas.

Bel berbunyi, Annisa kecewa lalu masuk kelas.

Pelajaran dimulai, lalu berlalu.

Istirahat memanggil seluruh murid dari ujung kelas. Annisa keluar, dan melihat ke lapangan lagi, menemui bintangnya yang tak juga meredup. Cahayanya selalu menghiasi Annisa dalam semburat rona bahagia yang terpancar dari lekuk wajah Annisa yang biasa saja.

Sambil berjalan menuju kantin, Annisa berpapasan dengan bintangnya, mereka terpagut dan langsung salah tingkah. Annisa tersipu malu menutupi degup jantungnya yang tidak lagi berirama. Annisa tersenyum dibalik punggung bintangnya.

***

Pagi-pagi Annisa sudah sampai sekolah, tidak biasanya. Ia berniat menunggu bintangnya hingga ia juga datang. Tak lama, ia datang dan pagi ini Annisa tersenyum lagi setelah semalam bayang-bayang bintangnya menghiasi mimpi Annisa yang indah.

Annisa menyebutnya 'bintang', karena selalu membuatnya bersinar dan bercahaya. Semalam Annisa bermimpi bisa terbang bersama bintang, menjauhi bumi dan mendekati langit yang biru. Bintang istimewa bagi Annisa.

Setelah tahu sang pujaan telah tiba, Annisa buru-buru ke dalam agar bisa menyembunyikan wajahnya dari seseorang yang ditunggunya. Annisa menyeka keringat, menarik napas dan mengatur kembali degup jantungnya yang selalu tidak beraturan bila dekat dengan bintangnya.

Tas ia taruh dimeja, dan keluar untuk melihat bintangnya dari jauh. Bintangnya indah sekali pagi ini. Membuat Annisa semakin ingin untuk memilikinya. Annisa tersenyum senang bila seseorang diujung sana membalas tatapannya yang penuh harapan.

***

Secepat kilat, Annisa berlari menuju kelasnya di sudut sekolah. Menaruh buru-buru tas biru kesayangannya dan melesat menuju gerbang. Annisa merapikan sedikit kerudungnya yang sempat miring. Annisa tersenyum bahagia, sang pujaan baru saja tiba ke sekolah. Dan energi positifpun dapat terserap dengan baik oleh Annisa.

Pagi ini, Annisa sempat berkejaran dengan napasnya, bagi dia 7 kurang 15 menit menuju sekolah adalah terlambat, karena saat itu pula bintangnya sudah tiba. Senyum Annisa terbalas, lebih dalam dan lebih memesona. Sambil berbalik menuju kelas, matanya tak berhenti tertuju pada sang bintang. Ia berlari menyilangi lapangan berkata pada pagi bahwa ia sedang bahagia! . Annisa melihat lagit biru yang cerah, secerah hatinya yang baru saja mendapat suntikkan senyuman dari bintangnya.

Pagi yang indah, andai saja mereka tahu apa yag dirasakan Annisa saat ini, tentu mereka ikut menari bersama angin, ikut bersuka pada pagi, ikut bersemangat bersama mentari. Semua orang seringkali melupakan desir pagi yang menyejukan hingga ke ujung hati.

Selipan senyum Annisa berhenti tatkala bel masuk harus berbunyi.

***

Annisa mengatur posisinya, duduk diatas meja vertikal ke arah lapangan. Bersiap melihat tempat strategis dimana bintangnya sering berada disana. Annisa menikmati pagi-paginya yang meriah. Bila malam tak bisa berpesta, biarkan saja ia berdansa di pagi hari bersama bayangan bintangnya.

Melihat sang bintang, Annisa selalu jatuh cinta. Setiap hari. Belum pernah Annisa merasakan hal demikian. Mengintip bintang adalah cara yang paling aman untuk merasakan jatuh cinta yang selalu membuat hati berdebar dan membuat diri terbang. Annisa, Annisa, ckckckck. Hanya itu yang bisa ia katakan pada dirinya sendiri. DIambang sunyi dan ramai. Sebelum bertemu bintangnya, Annisa adalah anak perempuan yang cerewet, tapi semenjak ada bintang, jawaban Annisa hanya sebuah senyuman.

"Nisa, nisa ? ",panggil Rani.
"Emm", jawab singkat Annisa.
"Kamu masih liatin dia?"
"Iya"
"kenapa?"
"Ah, mau tau aja."
"Engga saya hanya khawatir dengan kondisi kamu."

Annisa berbalik dan mengernyitkan dahi.

"Apaan sih? Saya masih baik-baik saja!"

Annisa berpaling dan kembali menghadap lapangan.

"Kamu biasanya rajin mengikuti pengajian Kak Risa. Kenapa sekarang kemu sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti pengajian lagi?. Bukankah kamu selalu terburu-buru untuk mendapatkan posisi paling depan bila pengajian dimulai?"
"Sedang bosan, ingin cari angin baru yang lebih menyegarkan. Bukan hanya melulu tentang teori. Sekali-kali praktek dong. Bilang tuh ke Kak Risa."
"Astaghfirullah, kamu kenapa Annisa? Saya ini sahabatmu, ceritakan apa yang terjadi hingga kamu memandang buruk pada Kak Risa yang selalu kamu banggakan?!"

Annisa turun dari meja, meninggalkan Rani yang masih penuh dengan pertanyaan yang menggeliat.

***

"Annisa ! Annisa !", suara Abi terdengar sampai depan rumah. Abi tahu Annisa baru pulang dari tempat Bu Sarah, guru lesnya.
"Assalamu'alaikum" salam Annisa.
Namun tak ada yang menjawab. MElihat wajah Abi yang tegang, Annisa langsung menuju kamarnya.
"Annisa!"
"Ada apa Abi?"
"Besok Abi antar kamu ke pesantren Abah Rusdi."
"Apa?!! Abi serius? Apa-apaan ini? Enak saja! Tidak mau!"
"Kali ini sudah cukup Annisa! Lihat! Bereskan barang-barangmu!"

Annisa menyadari apa yang sedang ia lihat.
Tak terasa air mata sudah membanjiri kasurnya.

***

ANNISA

Aku memang tahu bahwa aku bodoh.
Tapi tak seharusnya Abi membawaku ke pesantren abah. Abah itu sangat keras, membuatku ingin selalu berontak. Jika perlawananku hanya dalam hati mungkin tak akan jadi masalah tapi bila aku meluap-luap dan tak sadar lagi. Aku bisa gila.

Aku diam seribu bahasa. Abi tak mengerti apa yang sedang aku rasakan meski beberapa kali Abi berusaha menjadi Ummi untukku. Aku ingin marah, namun amarahku pasti meredam sendirinya bila berlawanan dengan Abi. Gas mobil terus diinjak Abi hingga kami akhirnya tiba.

Aku harus berhadapan dengan neraka. Ilmu agama disini tak akan ku serap baik bila pengajarnya selalu memarahiku, padahal aku selalu ingin menjadi baik. Huhh. Aku benci kondisi ini. Abi marah karena aku tak lagi menyeimbangkan keduniawianku dengan akhirat. Aku melupakan mengaji, aku lupa ingat kepada Yang Kuasa. Belum lagi, Rani memberitahukan perihal hubunganku dengan seseorang yang masih belum aku tahu namanya. Tak sempat kutanyakan 'siapa namamu?' kepadanya. Abi benar-benar payah.

Para santri menyambutku dengan senyuman ala kampung yang jarang melihat mobil. Pesantren ini memang megah, terlebih masjidnya yang mempu menampung seribu orang. Tapi aku tidak suka kondisi seperti ini. Baru saja aku tiba, ribuan pertanyaan semakin membuatku sesak. sesak. sesak.

***

Aku terbangun, Nini disampingku. Kemarin, aku pingsan. Aku memang sudah sesak sebelum aku menempuh perjalanan Tasik-Jakarta. Malamnya, aku tak nyenyak tidur. Ingat Ummi dan bintangku. Huh. Tak realistis Abi menuduhku yang macam-macam tentang kelakuanku, aku hanya mencintai seseorang dengan sepenuh hati, apa salahnya?.

Abi datang memberondongiku dengan berbagai pertanyaan tanda perhatian.

"Bi," kataku
"Apa, nak?" tanya Abi.
"Apa yang Abi khawatirkan tentangku? Setahuku satu bulan lagi aku genap 15 tahun. Setahuku aku masih sering mengaji di rumah. Setahuku nilai di sekolahku tak begitu buruk. Belum lagi aku baru saja melewati tiga bulan di SMA, jadi semua masih biasa saja. Apakah jika aku mencintai seorang laki-laki itu tidak wajar? Bukankah aku selalu bisa menjaga diri ? Inikan kali pertamaku merasakan hal ini, kenapa Abi langsung... ", kalimatku dipotong oleh Abi.
"Kamu salah mencintai orang, disini banyak yang lebih baik. Dari fisik maupun agamanya, santri disini lebih pantas menjadi imamu."
"Tapi aku sedang ingin menikmati masa bahagia Abi"
"Disini kamu juga bisa bahagia"
"Aku ingin kembali
"tidak boleh."
"Kenapa, Bi? Aku ingin tahu!", aku bertanya pada Abi sambil memamerkan wajahku yang sinis.

Abi pergi. Tak ada satupun jawaban yang terlontar dari bibirnya, aku menangis pada Nini yang setia menemaniku. Aku hampir lupa dengan adanya Nini.

"Ni, ada apa sih?"
"Kamu mencintai orang yang se-ayah denganmu, nak. Ibumu meninggal saat melahirkanmu. Saat beliau tahu, istri ayahmu yang lain melahirkan juga...."

Nini berhenti bercerita karena senggukannya yang sudah tidak bisa tertahan. Aku hanya, gamang.

THE END

2 komentar:

Aryo D Pamungkas mengatakan...

wih keren riz XD tp "punchline" di akhirnya asa kurang panjang dikiiit hhi

nn mengatakan...

hahaha ini pas bikin kayanya lagi bingung jugaa, doain aku biar bikin buku dim biar panjaang! makasiiiiiih loh udh jadi follower dan komentator pertamaaaaa di blog ini :')